Apa kali pertama yang terlintas di pikiran kita saat mendengar kata SLB (Sekolah Luar Biasa) ?. Mayoritas orang mungkin akan berpikir tentang sekolah yang berisikan sekumpulan anak-anak idiot. Ya... hal ini sudah tidak dapat dipungkiri lagi, betapa SLB selalu menjadi bulan-bulanan 'orang normal'.
Walaupun tidak semua orang mengetahui SLB, atau pernah mengunjungi SLB. Sebenarnya SLB di Indonesia terdiri dari berbagai jenis yang disesuaikan dengan disabilities murid-muridnya. SLB Bagian A : khusus untuk penderita cacat mata (tuna netra). SLB Bagian B : khusus untuk penderita cacat telinga (tuna rungu). Sedangkan SLB Bagian C : khusus untuk penderita cacat mental. Nah... hampir semua orang mengidentikkan SLB dengan SLB Bagian C.
Saya pernah mengunjungi SLB Bagian B dan C. SLB-C yang saya kunjungi berlokasi di RSJ. Grogol. Di SLB-C ini saya melihat banyak sekali anak-anak dengan keterbelakangan mental (terlihat dari ekspresi wajah dan tingkah lakunya). Akan tetapi ada juga penghuni SLB-C yang 'berekspresi wajah normal', seperti adik saya. Dia pernah berada di SLB-C selama beberapa bulan dan mendapatkan perlakuan medis. Waktu itu dia berusia sekitar 3-4 tahun. Karena ketidakwajaran yang 'terlihat' padanya, maka dokter menyarankan agar 'berobat' ke bagian psikologi anak / psikiatri di RSJ. Grogol. Atas rujukan dokter tersebut, dia dirasa perlu 'mendekam' di SLB-C Grogol.
Adapun gejala-gejala yang dialaminya antara lain :
- Tidak bisa bicara
- Tidak mendengar kalau dipanggil
- Berperilaku hiper aktif
Setelah dilakukan pengamatan dan hasil medis dari dokter, dia ternyata tuna rungu. Ketidakbisaan berbicara yang dialami saat itu dikarenakan dia tidak bisa mendengar. Akhirnya atas rujukan dokter, dia dipindahkan ke SLB-B Pangudi Luhur Jakarta, khusus untuk Tuna Rungu.
Murid-murid di SLB Pangudi Luhur terlihat normal-normal saja. Bahkan mereka rata-rata memiliki IQ di atas standar. Hanya saja mereka memiliki keterbatasan indera pendengar. Sekira 4 tahun adik saya bersekolah di Pangudi Luhur. Karena kemampuan berbicara yang cukup baik dan sudah dapat berinteraksi dengan orang normal, akhirnya dia pindah ke 'sekolah normal' di SD Tunas Muda, Slipi.
Pada awalnya mungkin 'orang normal' merasa aneh berteman dengan 'orang tuna rungu', dan begitupun sebaliknya. Tapi saya sangat salut dengannya kerena dia sangat PD dan tidak takut dicela. Dalam pergaulannya, adik saya termasuk orang yang bisa berteman, bukan golongan 'daftar tercela untuk jadi teman'.
Setelah lulus SD, adik saya melanjutkan ke SMP dan SMU negeri. Dia juga bukan anak yang kuper. Terbukti dia bisa main komputer, ngerti internet, game hacking, game online. Walaupun interaksi dengan orang lain masih belum bisa 'sewajar' orang normal.
Untungnya ibu saya orang yang sangat telaten, sabar dan penyayang. Setiap hari selalu menjemputnya dari sekolah, membantu belajar bersama, tanpa mengenal lelah. Adik saya saat ini duduk di bangku kuliah, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta jurusan Akuntansi. Semua ini karena ibu.
Walaupun tidak semua orang mengetahui SLB, atau pernah mengunjungi SLB. Sebenarnya SLB di Indonesia terdiri dari berbagai jenis yang disesuaikan dengan disabilities murid-muridnya. SLB Bagian A : khusus untuk penderita cacat mata (tuna netra). SLB Bagian B : khusus untuk penderita cacat telinga (tuna rungu). Sedangkan SLB Bagian C : khusus untuk penderita cacat mental. Nah... hampir semua orang mengidentikkan SLB dengan SLB Bagian C.
Saya pernah mengunjungi SLB Bagian B dan C. SLB-C yang saya kunjungi berlokasi di RSJ. Grogol. Di SLB-C ini saya melihat banyak sekali anak-anak dengan keterbelakangan mental (terlihat dari ekspresi wajah dan tingkah lakunya). Akan tetapi ada juga penghuni SLB-C yang 'berekspresi wajah normal', seperti adik saya. Dia pernah berada di SLB-C selama beberapa bulan dan mendapatkan perlakuan medis. Waktu itu dia berusia sekitar 3-4 tahun. Karena ketidakwajaran yang 'terlihat' padanya, maka dokter menyarankan agar 'berobat' ke bagian psikologi anak / psikiatri di RSJ. Grogol. Atas rujukan dokter tersebut, dia dirasa perlu 'mendekam' di SLB-C Grogol.
Adapun gejala-gejala yang dialaminya antara lain :
- Tidak bisa bicara
- Tidak mendengar kalau dipanggil
- Berperilaku hiper aktif
Setelah dilakukan pengamatan dan hasil medis dari dokter, dia ternyata tuna rungu. Ketidakbisaan berbicara yang dialami saat itu dikarenakan dia tidak bisa mendengar. Akhirnya atas rujukan dokter, dia dipindahkan ke SLB-B Pangudi Luhur Jakarta, khusus untuk Tuna Rungu.
Murid-murid di SLB Pangudi Luhur terlihat normal-normal saja. Bahkan mereka rata-rata memiliki IQ di atas standar. Hanya saja mereka memiliki keterbatasan indera pendengar. Sekira 4 tahun adik saya bersekolah di Pangudi Luhur. Karena kemampuan berbicara yang cukup baik dan sudah dapat berinteraksi dengan orang normal, akhirnya dia pindah ke 'sekolah normal' di SD Tunas Muda, Slipi.
Pada awalnya mungkin 'orang normal' merasa aneh berteman dengan 'orang tuna rungu', dan begitupun sebaliknya. Tapi saya sangat salut dengannya kerena dia sangat PD dan tidak takut dicela. Dalam pergaulannya, adik saya termasuk orang yang bisa berteman, bukan golongan 'daftar tercela untuk jadi teman'.
Setelah lulus SD, adik saya melanjutkan ke SMP dan SMU negeri. Dia juga bukan anak yang kuper. Terbukti dia bisa main komputer, ngerti internet, game hacking, game online. Walaupun interaksi dengan orang lain masih belum bisa 'sewajar' orang normal.
Untungnya ibu saya orang yang sangat telaten, sabar dan penyayang. Setiap hari selalu menjemputnya dari sekolah, membantu belajar bersama, tanpa mengenal lelah. Adik saya saat ini duduk di bangku kuliah, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta jurusan Akuntansi. Semua ini karena ibu.