Saturday, May 03, 2008

Disinilah Sampah Jakarta Bermuara

Tau nggak kemana sampah-sampah di Jakarta dibuang? Tentunya di TPA Bantar Gebang, Bekasi. Loh kok di Bekasi? Padahal kan sampahnya dari Jakarta?. Iya bener banget, jadi ceritanya gini... Tanah di Bantar Gebang itu udah dibeli sama Pemerintah DKI untuk dijadikan TPA. Versi yang lain menyebutkan bahwa DKI menyewa lahan kepada Bekasi (dalam hal ini adalah Kota Bekasi), untuk dijadikan TPA yaitu TPA Bantar Gebang.

Belum lama ini gue berkesempatan lagi berkunjung ke TPA Bantar Gebang, Bekasi berkaitan dengan mata kuliah LANDFILL yang sedang gue laksanakan. Oia... di kawasan ini tidak hanya ada TPA Bantar Gebang aja lho... Soalnya TPA Bantar Gebang (mengelola sampah DKI Jakarta) bersebelahan dengan TPA Sumur Batu (mengelola sampah Kota Bekasi) dan juga bersebelahan dengan TPA Burangkeng Setu (mengelola sampah Kabupaten Bekasi).



Gerbang menuju TPA Bantar Gebang


TPA Bantar Gebang seluas lebih dari 100 hektar terdiri dari beberapa zona. Masing-masing zona ini selesai digunakan akan ditutup lalu pindah ke zona yang lainnya.



TPA Bantar Gebang terdiri dari beberapa zona (ada 5-6 zona kalo nggak salah, dan tiap zona ini ada bagian A, B, C)


Kalo untuk sistem TPA nya sendiri, awalnya sih Sanitary Landfill, tapi dalam pengoperasiannya (karena kendala sumber daya dan keuangan) akhirnya berubah menjadi controlled landfill. Jadi konsepnya gini... sampah akan dimasukkan ke dalam tanah yang sudah digali untuk kemudian diurug dengan tanah. Gak boleh asal sembarangan nimbun sampah, soalnya lapisan bawahnya harus dibuat kedap (bisa menggunakan geomembaran atau tanah clay yang dipadatkan). Hal ini dilakukan untuk melindungi air tanah yang ada di bawahnya.

Konsep sanitary landfill, sampah yang masuk ke TPA setiap hari ditimbun dengan tanah pada kedalaman tertentu. Kalo controlled landfill (cuma ada di Indonesia), sampah di timbun dengan tanah dengan periode 3-7 hari sekali. Kalo prakteknya di Indonesia, sampah baru ditimbun dengan tanah setelah beberapa bulan, bahkan ada yang sampai 6 bulan masih belum ditimbun tanah. Kalo udah kayak gini, berarti prakteknya udah berubah menjadi open dumping. Dan hampir sebagian besar TPA di Indonesia masih beroperasi secara open dumping.



Tumpukan sampah yang belum ditimbun tanah



Lokasi yang sudah ditimbun tanah


Sampah yang berada di dalam tanah tersebut lama kelamaan akan terdekomposisi dan menghasilkan air sampah (disebut juga lindi atau leachate) dan gas bio (terdiri dari gas metan dan CO2). Suatu TPA yan baik harus memiliki saluran pengumpul lindi dan kolam pengolahan lindi serta saluran pengumpul gas. Untuk lindi, biasanya diolah pada rangkaian kolam : kolam anaerobik, kolam maturasi dan kolam fakultatif, untuk selanjutnya dapat dibuang ke badan air sesuai dengan baku mutu yang berlaku.



Ckckckckck... lindinya item kayak gitu euy...



Di belakang gue itu kelihatannya kayak small stream gitu ya... padahal itu adalah air hasil olahan kolam lindi, airnya agak item dan agak bau (namanya juga lindi...)


Gas bio yang dihasilkan oleh landfill ini merupakan salah satu gas yang berkontribusi dalam rumah kaca (karena mengandung gas metan alias CH4 dan karbon dioksida alias CO2). Pengolahan gas bio ini dapat dilakukan dengan cara membakarnya (flaring) untuk kemudian dikonversi ke dalam CO2 dan dijual (carbon trading). Untuk beberapa tempat di Indonesia sudah mulai mencoba pengolahan gas bio dengan cara ini (contohnya di Pontianak). Hal ini salah satu bentuk penerapan CDM di bidang persampahan.

Lantas... apakah itu CDM? CDM (Clean Development Mechanism) beranjak dari Protokol Kyoto, dimana negara-negara yang berada dalam Annex-1 (negara-negara Industri kecuali Amerika Serikat dan Australia) berkontribusi dalam mengurangi emisi gas kaca (penyebab global warming) dengan cara subsidi silang kepada negara-negara berkembang untuk membantu pengelolaan gas yang berpotensi menjadi gas rumah kaca. Nah, negara-negara dalam Annex-1 ini juga mempunyai target pengurangan gas rumah kaca (umumnya sebesar 10% hingga tahun 2010). Contohnya Jepang, memiliki komitmen untuk menurunkan gas rumah kaca hingga 7%. Setelah KTT Bumi yang dilangsungkan di Bali tahun 2007, Australia akhirnya bergabung menjadi negara Annex-1. Cuma Amerika Serikat aja nih yang nggak mau ikut dalam kesepakatan Protokol Kyoto (huh...dasar negara maju, udah ngasih polusi tapi kaga mau ikut berbenah diri...).

Duh maaf, kalo infonya ada yang nggak bener mohon dikoreksi aja yah dan tanyakan saja kepada Mr. Google... hehehhe...



TPA Sumur Batu ini udah kerjasama sama Gikoko (Jepang) untuk pemanfaatan gas metan yang dihasilkan oleh sampah pada TPA Sumur Batu



Instalasi gas yang dipasang oleh Gikoko, pas gue dateng kesana sih masih belum beroperasi (lihat aja tuh masih dipelastikin)



Hehehe kayak lagi di depan real estate mana gitu... Padahal mah ini gerbangnya TPA Sumur Batu, Bekasi.



Risky banget ya... Memulung sampah di bawah excavator



Pemulung rebutan sampah yang baru saja masuk ke TPA



Buldozer - Adalah salah satu alat berat yang terdapat di TPA yang berfungsi untuk meratakan dan memadatkan sampah



Kegiatan pemulungan di sekitar TPA



Gue bareng xe_nana di depan pemilahan plastik di Bantar Gebang



Ini foto tahun kemaren di salah satu TPA di Tegal, Jawa Tengah. Kostumnya kok pink juga yah? Hihihi...

2 comments:

Anonymous said...

halo win,
makasih banget ya untuk tulisan dan foto yang sedang bermanfaat ini..
kebetulan aku lagi butuh info untuk permasalahan sampah..

sebenarnya juga lagi nyari referensi tentang kali - kali yang ada di jakarta yang fungsinya sudah menjadi tempah sampah saja, tidak sebagai lalu lintas drainase yang baik ..

punya refensi tentang ini g?

kalau punya boleh aku tahu bisa link kemana ya?

imel ku jfitriany@yahoo.com

sekali lagi makasih banyak..

bacaan ini sungguh bermanfaat, sisi lain dari sebuah kehidupan..

KEEP WRITING!!

awie said...

Hi Win,

Apa kamu pernah survey ke TPA Tegal. Aku perlu info nih :
- Luas (Ha)
- Tonage sampah yang masuk tiap hari,
- dibuka tahun berapa
- Ada waste record nya nya.

Kalo bisa di email ke : bhadaiwi@gmail.com.

Thanks,

Bhadaiwi